Pilkada, Hiperealitas dan Politisasi Media
Minggu, 15 April 2018 - 17:04:28 WIB
 
Said Mustafa Husin, Tokoh Pers Kuansing
TERKAIT:
   
 

TELUK KUANTAN (DetakRiau.com) - Dewasa ini kita sering menemukan distorsi makna dalam media. Perekayasaan atau distorsi makna dalam media ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi media yang lebih dikenal dengan teknologi simulasi. Dalam pandangan Jean Baudrillard, di sini realitas media tidak lagi mengacu pada realitas dunia nyata atau hiperealitas sehingga menjadi semacam realitas kedua yang referensinya adalah informasi itu sendiri yang disebut simulacrum.

Hiperealitas media dan politisasi media ketika membentuk sistem komunikasi politik di dalam sebuah masyarakat secara tidak langsung telah menciptakan berbagai problematika khususnya yang berkaitan dengan objektivitas, netralitas, dan kredibiltas informasi yang disajikan ke ruang public. Bahkan hiperealitas media khususnya, tanpa bias terhambat telah pula menciptakan berbagai persoalan sosiokultural.

Semua ini sangat dirasakan dalam pemberitaan media yang terkait dengan kepentingan politik Pilkada. Objektivitas informasi tidak lagi dipedulikan, netralitas informasi benar-benar dikangkangi untuk kepentingan calon Pilkada, keberpihakan dalam penyajian berita terlihat lantang sekali, begitu juga dengan kredibilitas informasi tidak pula dihiraukan. Informasi disajikan dari narasumber seadanya.  

Dari sejumlah persoalan sosiokulutural yang sering diciptakan hiperealitas media diantaranya adalah ketika simulacrum informasi tampil dalam bentuk rentetan yang berlangsung terus menerus. Ini akan berdampak sangat buruk sekali karena bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik pada informasi itu sendiri. Berita-berita bombastis dari seorang calon Pilkada yang disajikan terus menerus dipastikan akan berbalik makna ketika tiba di ruang public.

Persoalan lainnya yakni munculnya politik pencitraan atau politik simulakrum. Politik pencitraan atau politik simulacrum akan semakin terlihat lantang ketika opini publik berhasil dibentuk oleh realitas yang disuguhkan oleh media. Padahal realitas media itu sesungguhnya tak lebih dari realitas artifarsial yang menyampaikan separuh kebenaran dan menyembunyikan separuh kebenaran lainnya. 

Informasi yang dikemas seperti ini tentu akan sangat disesalkan. Untuk pencitraan calon Pilkada media menyajikan informasi yang tidak lengkap, hanya menyampaikan separoh kebenaran dan menyembunyikan kebenaran lainnya. Inilah yang disebut dengan pembohongan publik. Namun politisasi media dan hiperealitas media yang terjebak dalam kepentingan Pilkada sangat berperan untuk menggiring media ke dalam kondisi ini  

Persoalan sosiokultural lainnya yang diciptakan politisasi media, dan hiperealitas media adalah bentuk banalitas informasi yakni informasi yang disajikan tidak memberikan manfaat sama sekali. Pemberitaan tentang calon Pilkada yang informasinya tidak memberikan manfaat sama sekali kepada public sering ditemukan karena lemahnya wawasan penyaji informasi, namun sangat beramibisi mensosialisasikan calon Pilkada 

Selain itu ada juga persoalan seperti fatalitas informasi yaitu penyebaran informasi ke arah ekstrim yang terus membiak tanpa henti dan tanpa terkendali. Fatalitas informasi ini akan menjadi sangat berbahaya saat membiak di ruang public. Politisasi media, kekerasan simbol dan hiprealitas sangat berkemungkinan menciptakan informasi yang disebut fatalitas informasi. 

Hiperealitas dan politisasi media yang terjebak kepentingan politik Pikada juga mampu menciptakan Skizofrenia. Di sini persoalannya terkait dengan media dan bahasa. Skizoprenia disini adalah putusnya rantai pertandaan, yaitu ketika “penanda” tidak lagi berkaitan dengan “petanda” lalu melahirkan ungkapan skizofrenia yakni berupa serangkaian penanda yang tidak berkaitan satu sama lainnya sehingga tidak mampu menghasilkan makna. 

Tapi persoalan yang sangat mengerikan adalah Hipermoralitas. Di sini politisasi media, kekerasan symbol dan hiperealitas menciptakan ketelanjangan komunikasi dan informasi yang di dalamnya tidak ada lagi rahasia, tidak ada lagi batas-batas mengenai baik dan buruk, benar dan salah, boleh atau tidak boleh untuk dikomunikasikan di dalam media. 

Di sini, media benar-benar telah tercerabut dari struktur moral, etika jurnalistik, media tampil dalam wacana ketelanjangan informasi dengan melenyapkan batas-batas moral atau etika lalu merambah masuk ke dalam wilayah privasi. Media tanpa merasa bersalah tampil dengan menyajikan hal-hal yang tabu untuk dipublikasikan.

Dalam kepentingan politik Pilkada, ini biasanya ditemukan saat media terlibat dalam aksi “black campaign” atau kampanye hitam. Sehingga dalam gerakan menggempur lawan tidak bisa lagi membedakan antara wilayah public dan wilayah privasi. Padahal penyajian informasi seperti ini sangat tidak dibenarkan kode etik jurnalistik dan UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Tapi kenapa itu tetap saja terjadi.

Teluk Kuantan, Minggu (15/4/2018)


(Penulis : Said Mustafa Husin, Tokoh Pers Kuansing)***(dra)

 
 
Redaksi | RSS | Pedoman Media Siber Copyright © 2017 by detakriau.com. All Rights
 
 
22:52 | WARTAWAN DETAK RIAU DIBEKALI KARTU PERS DALAM PELIPUTANNYA, JIKA MENCURIGAKAN HUB 0813-655-81599 - - - -