JAKARTA (DetakRiau.com) Kunjungan studi banding Pansus RUU Pidana Terorisme ke Inggris dan Amerika Serikat dalam rangka studi banding atas UU yang sama di negara dig daya yang memakan biaya cukup lumayan besar.
Pansus mendapati pelibatan militer untuk menanggulangi terorisme di Inggris pada eskalasi akhir. Sementara pasal Guantanamo yang diterapkan oleh Amerika Serikat masih abu abu untuk diterapkan dalam RUU.
Makanya, dalam RUU Pidana Terorisme yang baru yang akan disahkan pada bulan Juni ini. Disepakati bahwa paradigma RUU Pidana Terorisme adalah untuk melindungi HAM lewat mekanisme pengadilan pidana
Guantanamo adalah nama sebuah Pulau di AS. Yang kini jadi isttilah baru dalam teori studi terorisme dimana negara memberi kewenangan pada aparat untuk melakukan tindakan preemptif bertindak lebih awal kepada teroris sebelum melakukan pergerakan teror.
Yang mulai berlaku sejak era Presiden Bush junior, termasuk pengisolosian pelaku teror pada suatu wilayah tertentu tanpa ada batasan waktu, dengan tangan dan kaki diborgol sebab telah digolongkan sebagai combatan sama dengan pasukan tempur.
"Dalam draft RUU Pidana Terorisme yang baru. Yang akan disahkan oleh DPR sebenarnya sudah lebih baik karena telah mengatur pencegahan dan penanggulangan pemulihan korban oleh negara. Yang mengacu pada KUHAP yang diawali dengan bukti yang cukup".
Ini dikatakan Profesor Poltak Partogi ahli riset terorisme dari DPR RI saat berlangsung diskusi didalam dialog legislasi yang digelar oleh DPR di Jakarta selasa (15/5/2018) kemarin.
Pengaturan perlindungan HAM dengan prespektif pengadilan dalam RUU yang baru. Adalah atas pertimbangan karena sebelumnya ada laporan dari Komnas Ham bahwa sejak dibentuknya Densus 88 pasukan Polri yang bertugas kusus menidak pelaku terorisme.
Dilaporkan, sebanyak 122 terduga teroris ditembak mati tanpa dijelaskan apa dia itu pelaku atau bukan, ujar Arsul Sani wakil Ketua Pansus RUU Pidana Terorisme.
Ditempat yang sama anggota Pansus Nasir Djamil berharap agar sebelum RUU yang baru disahkan oleh DPR, agar supaya diperjelas kembali pengaturan definisi teroris supaya agar diatur didalam batang tubuh RUU yang baru agar menjadi norma dan tidak menjadi pasal karet atau multi tafsir.
RUU harus bisa membedakan tindak teroris yang diikuti dengan tutuntan sesuatu, dengan sparatisme yang mau membentuk negara baru. Sama dengan istilah teror, teroris dan terorisme memiliki makna yang tidak sama, ujarnya.
Poltak mempertanyakan peran Komunitas Intelijen Daerah, Kominda yang berada dibawah Mendagri terkait maraknya terorisme yang marak belakangan ini yang muncul justru dari daerah daerah. Sementara BNPT sebagai leading sektor juga tidak muncul di depan, ungkapnya.Erwin Kurai.