FDK Kritik Permenkes 51 Tahun 2018 Orientasi Bisnis
Kamis, 24 Januari 2019 - 13:45:49 WIB
 

TERKAIT:
   
 

JAKARTA (DetakRiau.com) Permenkes 51 Tahun 2018 yang mengatur tata
kelola dan pelayanan peserta BPJS di rumah sakit dinilai masih belum
berpihak kepada peserta BPJS.

"Malah aturan yang baru tersebut cenderung menekankan pada orientasi bisnis agar menguntungkan rumah sakit rujukan swasta dan pemerintah, dari pada menjalankan fungsi sosial kesehatan bahwa dokter hidup tidak dari penderitaan si pasien".

Ini dikatakan dr Christ R Parinsi Koordinator Forum Dokter Kerakyatan, FDK, di Jakarta, kamis (24/1/2019)

Dikatakan, berdasar aturan menteri kesehatan yang baru, peserta BPJS akan dikenakan biaya tambahan 10 persen kecuali berobat di Puskesmas atau tempat pelayanan kesehatan  dasar.

"Jelas ini sangat jelas berbeda dengan sebelumnya yang harus mengcover 100 % pertanggungan oleh BPJS", katanya.

Adapun peserta BPJS yang dikenal selama ini terdapat 4 kelompok yaitu peserta mandiri atau membiayai sendiri atau individual,  penerima upah/buruh yang dibayarkan oleh perusahaan, PBI  untuk orang miskin dan  korban PHK
yang keduanya terakhir ini dibayar oleh uang negara di tanggung dalam APBN berjalan setiap tahun, paparnya.

Apabila aturan baru tersebut dimaksudkan untuk  mencegah iuran BPJS yang macet atau kas BPJS  yang defisit."Alternatif nya bisa saja dapat berupa dikenakan sanksi denda progresif yang proporsional dan terukur,  yang sifatnya lebih banyak untuk pencegahan agar pembayaran iuran tetap rutin dibayar kan pada setiap bulannya oleh peserta BPJS", jelasnya.

Sebab, apabila  mengacu pada UUD 1945 tidak tepat jika BPJS tak menanggung semua biayanya, asalkan palayanan dasarnya diutamakan lebih dahulu, tegasnya.

Munculnya carut marut tata kelola BPJS  versi FDK. Pertama, karena tindakan oleh dokter yang tidak berdasarkan pada indikasi medik atau dilebih lebihkan  oleh rumah sakit. Kedua, pasien ikut mengatur dokter dengan minta obat tambahan. Sehingga antara BPJS, profesi kesehatan dan peserta BPJS saling menyalahkan sesudah pengobatan selesai seperti yang banyak terjadi sekarang ini, paparnya.
 
Dengan adanya tiga sumber dana yang dikelola oleh BPJS yang berasal dari iuran, denda progresif dan urunan pengobatan di rumah sakit dengan persentase 10 %
dan 90 %  yang ditanggung BPJS.

Yang  maksudnya baik guna untuk merubah prilaku peserta BPJS. Tetapi motif bisninya disini juga sangat kental dan kentara, ungkapnya. 

Permenkes 51 tahun 2018 sendiri, kata Christ, punya 4 mata untuk mencegah moral hazard peserta BPJS, moral hazard rumah sakit, moral hazard profesi kesehatan dan moral hazard industri farmasi.

Yang kesemuanya itu sangat menentukan tinggi rendahnya harga biaya pengobatan yang  mahal sekali sekarang, tandasnya.

Untuk itulah, diperlukan kehati hatian dalam membebankan  biaya rumah sakit tambahan. Kecuali denda  progresif bagi yang menunggak iuran meski sangat bepotensi menimbulkan masalah baru yakni tagihan yang tidak likwid atau iuran yang macet.

Soal lainnya adalah munculnya diskriminasi atas peserta BPJS yang membayar iuran rutin tetapi belum pernah berobat, apa akan dikenakan aturan baru Permesnkes 51 Tahun 2018.

"Ini  juga soal baru yang lain lagi.Tapi yang lebih penting
dokter tetap sebagai pengendali utamanya sesuai kode etik dokter", pungkasnya. Erwin Kurai.    



 
 
Redaksi | RSS | Pedoman Media Siber Copyright © 2017 by detakriau.com. All Rights
 
 
22:52 | WARTAWAN DETAK RIAU DIBEKALI KARTU PERS DALAM PELIPUTANNYA, JIKA MENCURIGAKAN HUB 0813-655-81599 - - - -