FITRA Ingatkan Pemprov Riau, Penggunaan Anggaran Terlalu Boros
Senin, 26 April 2021 - 23:36:49 WIB
 

TERKAIT:
   
 

PEKANBARU, detakriau.com  - Tahun 2021 dapat disebut tahun yang buruk bagi daerah-daerah penghasil sumberdaya minyak dan gas bumi (Migas), termasuk di Riau. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang transfer keuangan pemerintah daerah dan dana desa untuk tahun 2021, DBH Migas untuk daerah-daerah di Riau hanya ditargetkan Rp1.730.515.883.000.

Terkait hal itu, Koordinator Forum Transparansi untuk Anggaran (Fitra) Riau, Triono Hadi mengatakan target penerimaan transfer Dana Bagi Hasil (DBH) Migas ke Riau itu merupakan target terendah sepanjang 10 tahun terakhir ini. DBH Migas yang ditargetkan diterima tahun 2021 ini hanya 35 persennya dari target yang ditetapkan tahun 2020. Dan hanya 32 persen dari realisasi tahun 2019. Artinya potensi DBH Migas yang diterima oleh pemerintah se-Riau tahun 2021 ini jauh berkurang dari tahun sebelumnya yang belum diketahui jelas apa yang menjadi penyebabnya.

Provinsi Riau Riau, kata Triono, yang mendapatkan bagian 3,5 persen dari hasil migas Kabupaten se Riau, tahun 2021 hanya ditargetkan Rp 346,1 Miliar. Angka itu jauh dari taget tahun 2020 sebesar Rp1,28 Triliun dan realiasi tahun 2019 sebesar Rp830 Miliar.

"Kondisi yang sama untuk daerah penghasil migas besar di Riau, seperti Bengkalis, Siak, Kampar, Rokan Hilir. Tahun 2021 target DBH migas yang akan diterima oleh darah-daerah itu hanya sepertiga dari realisasi DBH migas tahun 2019 dan target tahun 2020 maka kondisi ini akan semakin memperkecil kapasitas fiskal yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi maupun kabupaten Kota penghasil Migas," cakap Triono Hadi, Senin (26/4/2021).

Ia mengatakan, kabupaten di Riau rata-rata menganggantungkan pendapatan daerah yang sangat tinggi kepada pendapatan transfer dari pusat, salah satunya adalah dana bagi hasil kelola sumberdaya alam, selain bagi hasil pajak, DAU serta DAK. Kabupaten/kota di Riau rata-rata 89% dari penerimaan daerahnya berasal dari dana transfer pusat maupun transfer provinsi (bagi hasil dan perimbangan). Sementara pengaruh Pendapatan Asli daerah masih sangat kecil di tingkat kabupaten/kota.

Apalagi, PAD merupakan sumber pendapatan asli daerah yang dipungut dari pajak retribusi daerah dan pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan PAD merupakan cerminan dari bagaimana kondisi ekonomi di daerah itu. Semakin kecil PAD maka menunjukkan tingkat ekonomi di daerah masih belum baik. Ekonomi dapat dilihat dari aspek pajak dan retribusi daerah untuk skala yang dapat dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan kewenangannya.

Hentikan Pemborosan

Fitra Riau menilai pemerintah daerah juga masih menunjukkan perilaku boros, tidak efisien dalam membelanjakan uang APBD. Seperti Provinsi Riau, rerata setiap tahun lebih dari 24,6% APBD digunakan untuk belanja pegawai, 13% untuk belanja operasional rutin pemerintah melalui dinas-dinas. Sementara untuk belanja langsung yang berdampak terhadap masyarakat sangat kecil.

Manager Advokasi FITRA, Taufik mengatakan bahwa di Provinsi Riau tahun 2021 adalah tahun dengan alokasi anggaran program pembangunan infrastruktur jalan dan jembatan terkecil dalam lima tahun terakhir. Sementara lainnya, Pemprov Riau masih saja menganggarkan untuk program infratruktur yang tidak prioritas dan bukan menjadi kewenangannya. Seperti Program pembangunan Gedung Korem yang seharusnya menjadi kewenangan pusat. Sebelumnya untuk kantor Polda Riau, Kejaksaan Riau juga dibangun dan dibebankan pada APBD Riau.

"Kami mencatat untuk ketiga bangunan tersebut dialokasikan anggaran mencapai Rp 521 Miliar. Praktik boros anggaran juga terjadi dianggaran perjalanan dinas. Provinsi Riau setiap tahun menganggarkan anggaran perjalanan dinas rata-rata Rp405 Miliar setiap tahun. Perjalanan dinas yang paling besar ada di DPRD Riau," ujar Taufik.

Selain itu pemerintah daerah juga masih cenderung boros dengan belanja rutin yang digunakan untuk penunjang pelaksanaan program. "Setiap tahun rerata 15% dari belanja langsung pemerintah daerah yang dikelola oleh OPD untuk belanja rutin, seperti ATK, perbaikan gedung kantor, pemeliharaan saranan pemerintah, termasuk di dalamnya pakaian dinas pemerintah yang menghabiskan belanja sebesar Rp9,2 Miliar," ungkap Taufik.

Sementara Triono menambahkan, sulit untuk melihat efektifitas dari dana bagi hasil migas ini digunakan oleh pemerintah daerah. Karena dalam perencanaan anggaran tidak ada earmarking belanja daerah yang berasal dari DBH migas. Sehingga sulit untuk mendeteksi penggunaan dari dana DBH migas itu. Karena mekanisme bercampur baur, maka sangat mungkin belanja -belanja yang boros dan tidak efektif itu juga berasal dari pendapatan DBH migas.

Dengan demikian, FITRA mendesak Pemerintah daerah baik Pemprov Riau maupun kabupaten/kota untuk saatnya berbenah dari sisi kebijakan anggaran. Komoditi priomadona (migas) sudah tidak lagi menjadi sumber keuangan untuk bergantung, apalagi situasi 2021 ini adalah cerminan dari untuk tahun-tahun yang akan datang.

Seharusnya pemerintah daerah menjalankan prinsip efektif dan efisien dalam pembiayaan program-program. Pemerintah, dengan memperhatikan selektif mungkin dalam merancang program-program. Terutama pada penyusunan Program prioritas karena program perioritas tersebut merupakan program yang memiliki dampak
besar terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti untuk Pemenuhan layanan dasar, peningkatan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sehingga Program-program yang tidak jelas arahnya, apalagi yang bukan kewenangannya. "Gubenur dan bupati harus tegas untuk meniadakannya,“ tutup Triono Hadi.(rid/RLS)

 
 
Redaksi | RSS | Pedoman Media Siber Copyright © 2017 by detakriau.com. All Rights
 
 
22:52 | WARTAWAN DETAK RIAU DIBEKALI KARTU PERS DALAM PELIPUTANNYA, JIKA MENCURIGAKAN HUB 0813-655-81599 - - - -