Sikapi Soal Perselisihan Pertanahan
LAMR Gelar Temu Gagas Masyarakat Adat Melayu Riau
Selasa, 14 November 2023 - 12:18:51 WIB
 

TERKAIT:
   
 

Pekanbaru, detakriau.com - Bertempat di Balairung Tennas Efendy Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), giat Temu Gagas Masyarakat Adat Melayu Riau 2023 digelar Selasa (14/11/2023). Giat ini dilaksanakan usai terselenggaranya Musyawarah Kerja (Musker) LAMR yang digelar Senin (13/11/2023) kemarin.

Hadir dalam kesempatan itu, Asisten I Setdaprov Riau H Masrul Kasmy, anggota DPRD Riau Dr Hj Karmila Sari, Ketua MKA LAMR Datuk Seri H Raja Marjohan Yusuf, Ketua DPH LAMR Datuk Seri H Taufik Ikram Jamil, Pengurus LAMR Provinsi Riau dan pengurus LAMR Kabupaten/Kita se-Provinsi Riau.

Temu Gagas Masyarakat Adat ini bertujuan untuk mendengarkan semua keluhan masyarakat adat terkait konflik lahan yang terjadi di Provinsi Riau. Hal ini disampaikan Datuk H Tarlaili selaku Ketua Panitia Pelaksana. 

Ketua DPH LAMR Provinsi Riau Datuk Seri H Taufik Ikram Jamil dalam elu-eluannya menyebutkan, kegiatan ini suatu bentuk kerinduan pengurus LAMR Provinsi Riau dengan LAMR Kabupaten/Kota dan masyarakat adat yang ada di Provinsi Riau untuk bersilaturahmi dan bertukar pikiran terkait kehidupan masyarakat adat Riau. 

"LAMR sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Provinsi Riau sudah seharusnya membina jalinan komunikasi dengan masyarakat ada yang ada di Provinsi Riau. Lewat pertemuan ini nantinya bisa mendapatkan solusi dari permasalahan adat yang terjadi di Riau,' ucap Taufik Ikram.

Wakil Ketua Komisi V DPRD Riau, Dr Hj Karmila Sari MM dalam sambutannya mengatakan kalau lahan di Riau kini banyak berderai. Untuk itu melalui pertemuan ini diharapkan permasalahan-permasalahan terkait lahan bisa terselesaikan dengan baik. 

"Kami sebagai wakil rakyat akan selalu mengawal aspirasi masyarakat," tegas Karmila. 

Sementara, Asisten I Setdaprov Riau H Masrul Kasmy mengatakan, Pemerintah Provinsi Riau sudah membentuk tim tentang perselisihan Tanah adat. Karena di Riau soal konflik pertanahan terbilang paling tinggi di Indonesia.

"Yang berperkara selalu perusahaan dengan masyarakat. Dan setiap perselisihan yang muncul, selalu masyarakat yang kalah. Ada lebih dari 80 kasus terkait konflik lahan di Riau. Jelas ini menjadi tugas berat pemerintah dalam mengatasi persoalan konflik lahan ini," ucap Masrul.

Salah satu kasus besar pertanahan yang hingga kini belum terselesaikan adalah konflik lahan di Kerinci Kanan, Kabupaten Bengkalis. Dimana PT Meridan Sejati Surya Plantation (MSSP) dengan masyarakat setempat saling klaim kepemilikan lahan. 

"Terkait banyaknya masalah pertikaian lahan ini, Pemerintah Provinsi Riau sudah membentuk Tim Terpadu Percepatan Penyelesaian Konflik Tanah Adat/Ulayat di Provinsi Riau. Bahkan kita sudah mengadakan rapat tindak lanjut permasalahan pertanahan di Provinsi Riau beberapa waktu lalu," ucap Masrul lagi.

Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat LAMR Provinsi Riau, Datuk Seri H Raja Marjohan Yusuf dalam elu-eluannya mengatakan, LAMR sudah melakukan evaluasi terkait program-program kerja.

"LAMR dalam kerjanya tidak sebatas seremonial belaka, akan tetapi juga menyelesaikan aduan masyarakat adat. Seperti sengketa lahan yang selalu muncul setiap tahun," ucap Datuk Seri Marjohan.

Temu Gagas Masyarakat Adat Melayu Riau ini diakhiri dengan dialog. Dimana masing-masing perwakilan masyarakat ada kabupaten/kita menyampaikan keluhannya terkait konflik lahan yang tak berkesudahan.


MAKLUMAT SIKAP ADAT
Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Bersama Komunitas Masyarakat Hukum Adat se-Provinsi Riau

Prolog
Bahwa Masyarakat Hukum Adat adalah penduduk asli Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah dilindungi dan dihormati berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945. Akan tetapi, kewajiban yuridis konstitusional terkait pengakuan dan penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat belum sesuai dengan harapan. 

Jaminan penentuan nasib sendiri (recognition of self determination), jaminan penentuan hidup sesuai adat istiadat sendiri (usos y costumbres), otonomi pemerintahan sendiri (self-government) sesuai hukum adat lokal, pengembangan kebudayaan sendiri dan jaminan terhadap akses sumber daya masih dalam catatan belum menjadi kenyataan. 

Pembentukan Desa Adat menjadi barang mahal dan sulit untuk diwujudkan, seolah-olah keberadaan Desa Adat tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan tidak pula menjadi prioritas pembangunan.

Kita perlu belajar dari Konstitusi Bolivia pada tahun 2009, mereka telah jauh melangkah dengan menjadikan Masyarakat Hukum Adat Bolivia sebagai subjek hukum yang berdaulat atas ruang hidup, sumber daya, dan identitasnya. Kedaulatan Masyarakat Hukum Adat adalah mutlak untuk pemartabatan kemajemukan, kemanusian dan keadilan.

Masyarakat Hukum Adat menghadapi pelanggaran hak asasi manusia akibat proses perampasan sumber daya yang telah mereka manfaatkan secara turun temurun. Diskriminasi, dan marginalisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam untuk perkebunan, kehutanan dan pertambangan atas hak-Masyarakat Hukum Adat. Tanah ulayat belum mendapatkan pengakuan oleh negara dan perampasan tanah semakin meningkat. Konflik lahan semakin berkepanjangan tanpa diketahui kapan berakhir. 

Masyarakat Hukum Adat kehilangan hak hidupnya, mengalami penganiayaan, kehilangan mata pencaharian dan kaum perempuannya terpaksa bekerja di luar wilayah adatnya. Kekerasan menimbulkan korban fisik, bahkan korban jiwa mewarnai konflik antara perusahaan-perusahaan dengan Masyarakat Hukum Adat. Ironisnya negara tidak bersikap netral, lebih mengutamakan dan memihak kepada perusahaan.

Penyingkiran Masyarakat Hukum Adat dilegitimasi oleh produk hukum negara dan kebijakan pemerintah dalam pembangunan. Ketidakpastian hak atas wilayah adatnya, dan penetapan kawasan hutan oleh pemerintah telah menimbulkan masalah bagi tempat tinggal dan tanah-tanah garapan puluhan juta warga Masyarakat Hukum Adat di Indonesia khususnya di Riau.

Berangkat dari pemikiran di atas, kami komunitas masyarakat Hukum Adat bersama Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) dengan ini menyatakan sikap:

1. Mendesak Kementerian Pertanian, Badan Pertanahan Nasional untuk memberikan sanksi pencabutan, dan/atau tidak memperpanjang HGU dan/atau  izin bagi perusahaan yang tidak melaksanakan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat 20% dari jumlah HGU dan Izin pengelolaan, sebagaiman diatur dalam Pasal 57 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, dan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar.

2.Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup untuk memberikan hak kepada Masyarakat Hukum Adat sebanyak 30% total dari 1.2 juta kawasan hutan yang digunakan untuk perkebunan sawit  oleh perusahaan pada progam pengampunan dan atau keterlanjuran. 

3.Meminta kepada pemerintah untuk membentuk desa adat, dan kepada pemerintah kabupaten/kota se Provinsi Riau segera membentuk Peraturan Daerah tentang desa adat serta membentuk tim verifikasi dan identifikasi Masyarakat Hukum Adat di setiap daerah masing-masing.
 
4.Mendesak Pemerintah untuk melakukan pengukuran ulang jumlah luasan HGU dan HTI yang dikelola oleh perusahaan dan membuka informasi data masa berlaku HGU perkebunan kelapa sawit dan HTI di provinsi Riau pada publik.

5.Meminta Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung untuk mengutamakan pendekatan restoratif justice dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kehidupan Masyarakat Hukum Adat Riau, sebagai jaminan penentuan hidup sesuai adat istiadat sendiri, berdasarkan kearifan lokal Masyarakat hukum adat.

6.Mendesak Pemerintah untuk segera mengesahkan rancangan undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi undang-undang tentang Masyarakat Hukum Adat. (*)

 
 
Redaksi | RSS | Pedoman Media Siber Copyright © 2017 by detakriau.com. All Rights
 
 
22:52 | WARTAWAN DETAK RIAU DIBEKALI KARTU PERS DALAM PELIPUTANNYA, JIKA MENCURIGAKAN HUB 0813-655-81599 - - - -