PUNGKAT (DetakRiau.com)-Masyarakat petani Desa Pungkat, Kecamatan Gaung tetap menuntut komitmen Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir untuk melakukan evaluasi, bahkan mencabut izin PT Setia Agrindo Lestari (PT SAL). Keberadaan mereka selama ini justru menyusahkan dan mengganggu kehidupan layak masyarakat setempat.
Penolakan terhadap keberadaan perusahaan sawit dengan tegas disuarakan masyarakat setempat, saat menerima kedatangan perwakilan pemerintah, tokoh masyarakat dan agama dari Kabupaten Manokwari, Sorong, Sorong Selatan dan Maybrat, Provinsi Papua Barat yang difasilitasi Conservation International Indonesi dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesi (WALHI), kemarin.
Puluhan masyarakat Desa Pungkat dengan menggunakan pompong bermesin mengantarkan rombongan dari Papua Barat ini melihat langsung lokasi lahan rawa gambut yang sudah dijadikan PT SAL sebagai perkebunan kelapa sawit.
"Kami tetap meminta Pemkab Inhil mencabut izin PT SAL, karena keberadaannya sudah menyusahkan dan mengganggu pencaharian masyarakat kami," pekik Asmar, Ketua Organisasi Rakyat Pungkat Bersatu, di hadapan perwakilan pemerintah dan tokoh masyarakat dari Papua Barat ini, sebagaimana dilansir riauterkini.com.
Ia menggambarkan secara jelas, berbagai dampak yang ditimbulkan akibat pembukaan kawasan hutan rawa gambut di daerah mereka. Dipesankan, masyarakat Papua Barat mempertimbangkan dengan matang dan kajian yang benar sebelum menerima kehadiran perusahaan sawit yang akan berinvestasi di daerah tersebut.
Tokoh masyarakat lainnya, Hasan Basri menyampaikan, sejak kehadiran perusahaan sawit ini, masyarakat tidak dapat lagi memanfaatkan hasil alam dengan baik, padahal selama ini merupakan mata pencaharian mereka.
"Sejak PT SAL masuk ke desa kami, masyarakat menjadi menderita dan sengsara," keluhnya.
Dunia pendidikan pun menjadi terganggu sejak kehadiran perusahaan ini, jumlah siswa SDN 025 di desa inj juga terus mengalami penurunan tiap tahun, disebutkan karena banyak orang tua yang sulit menyekolahkan anaknya, karena mata pencaharian mereka terganggu ditambah kebun kelapa juga rusak karena hamba kumbang.
Amiruddin, warga setempat juga mengakui saat ini pohon kelapa mereka habis diserang kumbang dan binatang lainnya, seperti monyet dan beruang. Kuat dugaan karena habitat mereka sudah terkikis dijadikan perkebunan kelapa sawit.
"Kami juga kesulitan mendapatkan air bersih saat musim kering dan ikan juga menghilang, karena pembukaan kanal yang membuat air rawa yang selama ini dapat diminum sudah tercemar," ujar Harmalis.
Seorang ibu rumah tangga Yusniar juga menyampaikan keluh kesah, yakni beratnya beban ekonomi keluarga saat ini. Karena saat air rawa gambut tidak dapat dimanfaatkan lagi, maka mereka harus mengeluarkan biaya Rp 15 ribu perhari untuk membeli air bersih, padahal sebelumnya mereka memperoleh gratis dari sumber air bersih dihutan rawa gambut ini.
Sebelumnya, saat menerima perwakilan masyarakat Desa Pungkat, Rabu (11/1/17) lalu, Bupati Wardan menegaskan akan melakukan evaluasi terhadap perizinan perusahaan ini, kalau terindikasi ada pelanggaran dalam terbitnya perizinan yang dimiliki mereka.
"Kami akan bentuk tim untuk melakukan evaluasi terhadap izin PT SAL ini, akan dilihat benar atau tidak prosedur mereka mendapatkan izin tersebut," katanya saat itu.
Saat itu, Deputi Direktur Eksekutif WALHI Riau, Boy Jerry Even Sembiring memaparkan bahwa hasil analisa sejak keberadaan PT SAL telah menimbulkan penolakan dan masalah di tengah-tengah masyarakat.
"Ditambah lagi, memang izin yang mereka miliki juga melanggar berbagai ketentuan yang mengatur tentang pembukaan lahan di kawasan hutan rawa gambut. Dan terjadi tumpang tindih perizinan dengan HPH PT Bina Keluarga dan HTI PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa," sebutnya. Termasuk dalam rekomendasi dinyatakan kawasan tidak produktif, tapi faktanya merupakan kawasan produktif.
Walhi Riau melihat izin PT SAL juga bermasalah secara ekosistem dan sosial dengan masyarakat setempat.
"Di dokumen perizinan PT SAL disebutkan merupakan tanah aluvial, tapi anak kecil pun tahu itu merupakan rawa gambut yang sangat dalam," paparnya.
Fandi Rahman, aktifis WALHI Riau menerangkan, kedatangan mereka, kemarin, merupakan tindaklanjut dari pertemuan pada hari Rabu (11/1/17) lalu.
"Karena sampai hari ini dan setelah turun langsung ke lokasi dan melihat langsung dampak kerusakan lingkungan akibat pembukaan kawasan hutan rawa gambut, kami bersama masyarakat tetap menuntut komitmen Pemkab Inhil terkait tuntutan warga Pungkat," tegas Fandi.
Kita tunggu komitmen Pemkab Inhil atas upaya melindungi kepentingan masyarakatnya dan menjaga lingkungan hidup yang berkelanjutan. Jangan sampai lamban disikapi dan dicarikan penyelesaian, maka kembali memantik konflik di lapangan. (e2)
(f: rtc)